Anak anak ajaib

Anak anak ajaib
mereka selalu ngangenin..

Jumat, 18 Maret 2016

Diajarkan dan Mengajarkan



“Ketika diluar sana listrik mati beberapa jam saja sudah merasa risau, anak anak disini tidak pernah menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia, meskipun listrik tidak pernah ada disini”.
SELENGOT. Tahukah daerah ini? Tidak? Wajar, karena secara GPS atau Sistem Pemetaan online, Desa Selengot tidak terdeteksi. Hampir sepuluh bulan ini saya tinggal di Desa Selengot, Kecamatan Tanjung Harapan, Kabupaten Paser, yang terletak di Teluk Apar, Selat Makasar. Perjalanan dari Tana Grogot (Ibukota Kabupaten) menuju Desa Selengot cukup panjang, membutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan darat menuju dermaga Desa Lori, dilanjutkan dengan perjalanan air sekitar 1 jam menggunakan “balapan” (kapal kecil bermesin) milik warga karena tidak ada angkutan umum dari Desa Lori menuju Desa Selengot. Karena akses transportasi yang terbatas tersebut, saya bisanya menunggu tumpangan  “balapan” warga yang kebetulan ke Lori. Bagaimana kalau tumpangan balapan tidak ada?
Apa yang terpikir ketika  mendengar daerah pesisir? Pantai? Pernahkah terpikir menghabiskan waktu di tempat yang tidak ada tanah untuk menginjakkan kaki? Melakukan segala aktivitas di atas susunan papan, mulai dari bermain bola sampai upacara bendera dengan pasukan Paskibra yang berjumlah 24 orang?
Di tempat seperti inilah saya tinggal dalam 10 bulan ini menyaksikan ‘anak-anak ajaib’ ini hidup, belajar, dan bermain. Di saat anak laki-laki lain ingin menjadi tentara, ada saja anak yang menjawab bercita-cita menjadi Rhoma Irama.  Di saat banyak anak perempuan bercita-cita menjadi dokter, ada saja yang ingin menjadi biduan. Di saat anak-anak balita bermain di kolam plastik, di sini para balita sudah mahir berenang di laut, anak-anak SD yang sudah bisa menghasilkan uang dengan menangkap kepiting, bagi saya, hal-hal seperti inilah yang bisa dibilang ‘anak ajaib’.
Saya di tugaskan mengajar di SD N 005 Tanjung Harapan, satu satunya SD ditempat kami. Jumlah siswanya adalah 210 siswa, dengan 8 orang guru. Baru satu tahun ini kami mempunyai gedung SMP, anak - anak tidak perlu lagi melanjutkan sekolah ke luar pulau dan tidak melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah keluar pulau.
Salah satu anak ajaib itu adalah Albar. Albar adalah siswa kelas VI. Dia selalu aktif bertanya di dalam kelas, Akbar pernah bertanya ”Salju itu beneran adakah pak?” “Berarti kita bisa minum es tiap hari di sanakah pak?” dan Albar selalu minta pulang cepat. “Mau menangkap kepiting pak” begitu alasannya. Di Desa Selengot ini banyak anak yang masih SD  tapi sudah menjaadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Mereka biasanya menangkap kepiting di empang, melaut, ataupun jualan kue.
Melihat mereka, ingatan saya melambung pada masa kanak-kanak saya di Bukittinggi. Kami selalu senang kalau guru tidak datang ke sekolah dan kompak teriak gembira kalau pulang sekolah lebih awal karena adanya rapat guru. Berbeda sekali dengan anak – anak ajaib ini yang selalu minta tambahan belajar setelah pulang sekolah, dan kadang datang ke rumah untuk menjemput gurunya.  Ditengah “kesibukan” anak – anak ini mengatur waktu untuk belajar dan membantu orang tua, tetapi semangat mereka tetap tinggi untuk belajar. Anak – anak ajaib ini, mengajarkan banyak hal kepada saya, salah satunya tentang bagaiamana menikmati hidup dengan baik dan tersenyum di setiap keadaan.
Di luar sana, ketika beberapa anak seumuran mereka masih sibuk internetan dan les belajar tambahan sepulang sekolah, anak-anak di sini sedang sibuk membantu orang tuanya. Ketika anak – anak lain di luar sana sering mengeluh dengan sepatu yang sudah “ketinggalan zaman”, anak - anak di sini tetap senang walaupun ke sekolah dengan sepatu yang sudah tidak layak pakai. Ketika di luar sana listrik mati beberapa jam saja sudah “mengumpat – ngumpat”, anak-anak di sini tidak pernah menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia meskipun listrik tidak pernah ada di desa ini.
Bulan Maret kemarin, 6 anak SD kami berhasil lolos semifinal Olimpiade Sains Kuark (OSK). Semifinal diadakan di Tana Grgot, Ibukota Kabupaten Paser. Nurjaya adalah salah satunya. Dia seringkali dengan polosnya sibuk bertanya kepada saya. “Mana yang lebih asyik naik sepeda motor daripada naik mobil pak?”,  “Wah... ternyata ada rumah yang bertingkat 3 ya pak, gimana cara bikinnya itu pak?,  “Kenapa di desa kami ngga ada jalan raya seperti ini pak ya?, “Pasti enak ke mana-mana naik motor ya pak”?   Pertanyaan-pertanyaan serius dari mereka yang kadang mebuat saya hanya tersenyum.
Saya pernah bertanya kepada Nurjaya, “mau ngga nanti tinggal di Grogot”?, “TIDAK, brisik disana pak, banyak mobil dan ngga bisa main di empang” jawabnya seketika.. Kebahagiaan tidak selalu berhubungan dengan fasilitas yang lengkap dan mewah.
Selama sepuluh bulan ini saya tinggal bersama keluarga baru disini. Orang tua baru   yang memperlakukan saya layaknya sebagai anak sendiri. Tinggal bersama kebaikan demi  kebaikan warga Selengot. Salah satu yang paling sederhana adalah karena ketiadaan transportasi umum keluar desa, saya harus mencari tumpangan balapan warga setiap kali mau ke Grogot.  Saya masih ingat pesan Pengajar Muda sebelum saya, “Jangan pernah berhenti melakukan kebaikan kebaikan ke semua orang karena kamu akan hidup dengan kebaikan kebaikan orang lain.”

Tidak ada alasan rasanya untuk banyak mengeluh dan mudah menyerah dalam memperjuangkan cita cita dengan segala fasilitas yang kita miliki, sedangakan mereka masih terus belajar dengan fasilitas yang terbatas. Tidak ada alasan rasanya untuk tidak tersenyum setiap hari kalau kita lihat senyuman mereka yang selalu ceria  di tengah keterbatasan fasilitas yang mereka punya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar