“Ketika
diluar sana listrik mati beberapa jam saja sudah merasa risau, anak anak disini
tidak pernah menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia, meskipun
listrik tidak pernah ada disini”.
SELENGOT.
Tahukah daerah ini? Tidak? Wajar, karena secara GPS atau Sistem Pemetaan online,
Desa Selengot tidak terdeteksi. Hampir sepuluh bulan ini saya tinggal di Desa
Selengot, Kecamatan Tanjung Harapan, Kabupaten Paser, yang terletak di Teluk Apar,
Selat Makasar. Perjalanan dari Tana Grogot (Ibukota Kabupaten) menuju Desa
Selengot cukup panjang, membutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan darat menuju
dermaga Desa Lori, dilanjutkan dengan perjalanan air sekitar 1 jam menggunakan
“balapan” (kapal kecil bermesin) milik warga karena tidak ada angkutan umum
dari Desa Lori menuju Desa Selengot. Karena akses transportasi yang terbatas
tersebut, saya bisanya menunggu tumpangan “balapan” warga yang kebetulan ke Lori.
Bagaimana kalau tumpangan balapan tidak ada?
Apa
yang terpikir ketika mendengar daerah
pesisir? Pantai? Pernahkah terpikir menghabiskan waktu di tempat yang tidak ada
tanah untuk menginjakkan kaki? Melakukan segala aktivitas di atas susunan
papan, mulai dari bermain bola sampai upacara bendera dengan pasukan Paskibra
yang berjumlah 24 orang?
Di
tempat seperti inilah saya tinggal dalam 10 bulan ini menyaksikan ‘anak-anak
ajaib’ ini hidup, belajar, dan bermain. Di saat anak laki-laki lain ingin
menjadi tentara, ada saja anak yang menjawab bercita-cita menjadi Rhoma Irama. Di saat banyak anak perempuan bercita-cita menjadi
dokter, ada saja yang ingin menjadi biduan. Di saat anak-anak balita bermain di
kolam plastik, di sini para balita sudah mahir berenang di laut, anak-anak SD
yang sudah bisa menghasilkan uang dengan menangkap kepiting, bagi saya, hal-hal
seperti inilah yang bisa dibilang ‘anak ajaib’.
Saya
di tugaskan mengajar di SD N 005 Tanjung Harapan, satu satunya SD ditempat
kami. Jumlah siswanya adalah 210 siswa, dengan 8 orang guru. Baru satu tahun
ini kami mempunyai gedung SMP, anak - anak tidak perlu lagi melanjutkan sekolah
ke luar pulau dan tidak melanjutkan sekolah dengan alasan tidak ada biaya untuk
melanjutkan sekolah keluar pulau.
Salah
satu anak ajaib itu adalah Albar. Albar adalah siswa kelas VI. Dia selalu aktif
bertanya di dalam kelas, Akbar pernah bertanya ”Salju itu beneran adakah pak?” “Berarti
kita bisa minum es tiap hari di sanakah pak?” dan Albar selalu minta pulang
cepat. “Mau menangkap kepiting pak” begitu alasannya. Di Desa Selengot ini banyak
anak yang masih SD tapi sudah menjaadi
tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Mereka biasanya menangkap
kepiting di empang, melaut, ataupun jualan kue.
Melihat
mereka, ingatan saya melambung pada masa kanak-kanak saya di Bukittinggi. Kami
selalu senang kalau guru tidak datang ke sekolah dan kompak teriak gembira
kalau pulang sekolah lebih awal karena adanya rapat guru. Berbeda sekali dengan
anak – anak ajaib ini yang selalu minta tambahan belajar setelah pulang
sekolah, dan kadang datang ke rumah untuk menjemput gurunya. Ditengah “kesibukan” anak – anak ini mengatur
waktu untuk belajar dan membantu orang tua, tetapi semangat mereka tetap tinggi
untuk belajar. Anak – anak ajaib ini, mengajarkan banyak hal kepada saya, salah
satunya tentang bagaiamana menikmati hidup dengan baik dan tersenyum di setiap
keadaan.
Di
luar sana, ketika beberapa anak seumuran mereka masih sibuk internetan dan les belajar
tambahan sepulang sekolah, anak-anak di sini sedang sibuk membantu orang
tuanya. Ketika anak – anak lain di luar sana sering mengeluh dengan sepatu yang
sudah “ketinggalan zaman”, anak - anak di sini tetap senang walaupun ke sekolah
dengan sepatu yang sudah tidak layak pakai. Ketika di luar sana listrik mati
beberapa jam saja sudah “mengumpat – ngumpat”, anak-anak di sini tidak pernah
menjadikan listrik sebagai alasan untuk tidak bahagia meskipun listrik tidak
pernah ada di desa ini.
Bulan
Maret kemarin, 6 anak SD kami berhasil lolos semifinal Olimpiade Sains Kuark
(OSK). Semifinal diadakan di Tana Grgot, Ibukota Kabupaten Paser. Nurjaya
adalah salah satunya. Dia seringkali dengan polosnya sibuk bertanya kepada
saya. “Mana yang lebih asyik naik sepeda motor daripada naik mobil pak?”, “Wah... ternyata ada rumah yang bertingkat 3
ya pak, gimana cara bikinnya itu pak?, “Kenapa
di desa kami ngga ada jalan raya seperti ini pak ya?, “Pasti enak ke mana-mana
naik motor ya pak”? Pertanyaan-pertanyaan
serius dari mereka yang kadang mebuat saya hanya tersenyum.
Saya pernah bertanya kepada Nurjaya,
“mau ngga nanti tinggal di Grogot”?, “TIDAK, brisik disana pak, banyak mobil
dan ngga bisa main di empang” jawabnya seketika.. Kebahagiaan tidak selalu
berhubungan dengan fasilitas yang lengkap dan mewah.
Selama sepuluh bulan ini saya tinggal
bersama keluarga baru disini. Orang tua baru
yang memperlakukan saya layaknya
sebagai anak sendiri. Tinggal bersama kebaikan demi kebaikan warga Selengot. Salah satu yang paling
sederhana adalah karena ketiadaan transportasi umum keluar desa, saya harus mencari
tumpangan balapan warga setiap kali mau ke Grogot. Saya masih ingat pesan Pengajar Muda sebelum
saya, “Jangan pernah berhenti melakukan kebaikan kebaikan ke semua orang karena
kamu akan hidup dengan kebaikan kebaikan orang lain.”
Tidak ada alasan rasanya untuk banyak
mengeluh dan mudah menyerah dalam memperjuangkan cita cita dengan segala
fasilitas yang kita miliki, sedangakan mereka masih terus belajar dengan
fasilitas yang terbatas. Tidak ada alasan rasanya untuk tidak tersenyum setiap
hari kalau kita lihat senyuman mereka yang selalu ceria di tengah keterbatasan fasilitas yang mereka punya.